Jumat, 14 Desember 2012

Hukum dan Etika Internasional

-->
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Etika di dalam bisnis dunia internasional sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.
Hubungan perdagangan dengan pengertian “asing” rupanya masih membekas dalam bahasa Indonesia, karena salah satu arti “dagang” adalah “orang dari negeri asing”. Dengan saran transportasi dan komunikasi yang kita miliki sekarang, bisnis internasional bertambah penting lagi. Berulang kali dapat kita kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi: kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomi. Gejala globalisasi ekonomi ini berakibat positif maupun negatif.

Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.
Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan lain-lain.


1.2.   Maksud dan Tujuan









BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Etika Bisnis
Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham, masyarakat.
Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.




2.2. Etika Bisnis Yang Baik
Menurut Richard De George, bila perusahaan ingin sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok yaitu :
1.      Produk yang baik
2.      Managemen yang baik
3.      Memiliki Etika

Tiga aspek pokok dari bisnis yaitu, dari sudut pandang ekonomi, hukum dan etika.
  1.  Sudut pandang ekonomis.
Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi disini adalah adanya interaksi antara produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen dengan konsumen, produsen dengan produsen dalam sebuah organisasi. Kegiatan antar manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung oleh karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak. Dari sudut pandang ekonomis, good business adalah bisnis yang bukan saja menguntungkan, tetapi juga bisnis yang berkualitas etis.
  1. Sudut pandang moral.
Dalam bisnis, berorientasi pada profit, adalah sangat wajar, akan tetapi jangan keuntungan yang diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Tidak semua yang bisa kita lakukan boleh1 dilakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan, bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan, karena menghormati kepentingan dan hak orang lain itu juga perlu dilakukan demi kepentingan bisnis kita sendiri.

3.      Sudut pandang Hukum
Bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat dengan “Hukum” Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam hubungan bisnis, pada taraf nasional maupun international. Seperti etika, hukum juga merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum lebih jelas dan pasti daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu bila terjadi pelanggaran. Bahkan pada zaman kekaisaran Roma, ada pepatah terkenal : “Quid leges sine moribus” yang artinya : “apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas”.






2.3. Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional

Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Kami berpendapat bahwa pandangan yang menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa norma-norma moral bersifat absolut atau tidak mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang tidak mudah itu harus bernuansa. Masalah teoritis yang serba kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis dalam etika bisnis internaasional. Apa yang harus kita lakukan ,jika norma di Negara lain berbeda dengan norma yang dianut sendiri? Richard De George membicarakan tiga jawaban atas pertanyaan tersebut, ada 3 pandangan mengenai pertanyaan di atas sebagai berikut :
1.      Menyesuaikan Diri

Untuk menunjukkan sikap yang tampak pada pandangan ini menggunakan peribahasa Kalau di Roma, bertindaklah sebagaimana dilakukan orang roma Artinya perusahaan harus mengikuti norma dan aturan moral yang berlaku di negara itu, yang sama dengan peribahasa orang Indonesia Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Norma-norma moral yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat. Itulah kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini. Misalnya, norma-norma sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua tempat tidak sama. Yang di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di tempat lain dianggap sangat tidak sopan.

2.      Regorisme Moral
Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut “rigorisme moral”, karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme moral kurang memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.

3.      Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada norma-norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di negara bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu.
2.4.  Masalah “Dumping” dalam Bisnis Internasional
Salah satu topik yang jelas termasuk etika bisnis internasional adalah dumpin produk, karena praktek kurang etis ini secara khusus berlangsung dalam hubungan dengan negara lain. Yang dimaksudkan dengan dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Dapat dimengerti bahwa yang merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para konsumen, melainkan para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan. Para konsumen justru merasa beruntung sekurang-kurangnya dalam jangka pendek karena dapat membeli produk dengan harga murah, sedangkan para produsen menderita kerugian, karena tidak sanggup menawarkan produk dengan harga semurah itu.


2.5. Aspek etis dari Korporasi Multinasional

Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah korporasi multinasional, yang juga disebut korporasi transnasional. Yang dimaksudkan dengannya adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi, perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multi nasional (KMN), tetapi perusahaan yang memilki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya.
Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya perusahaan-perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian dimiliki oleh orang setempat, sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang umum ditanggung oleh pimpinan perusahaan di negara asalnya. KMN ini untuk pertama kali muncul sekitar tahun 1950-an dan mengalami perkembangan pesat. Contoh KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony, Unilever yang memiliki kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan manusia. Di bawah ini akan dibahas usulan De George tentang norma-norma etis yang terpenting bagi KMN.
1.      Koorporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.
Dengan sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan tindakan yang tidak etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa suatu tindakan tidak etis, bila KMN dengan tahu dan mau mengakibatkan kerugian bagi negara biarpun tidak dengan sengaja atau langsung- menurut keadilan kompensatoris ia wajib memberi ganti rugi.
2.      Koorporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi negara dimana mereka beroperasi.
Hampir semua kegiatan manusia mempunyai akibat jelek,bisnis tidak tekecuali. Norma kedua menuntut secara menyeluruh akibat- akibat baik melebihi akibat- akibat jelek. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif, tapi memerintahkan sesuatu yang positif da ditegasakan lagi bahwa yang positif harus melebihi yang negatif.
3.      Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada pembangunan negara dimana dia beroperasi.
KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara berkmbang. KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian.


4.      Koorporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya.
KMN harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara berkembang.
5.      Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menantangnya.
      KMN akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak menghormati kebudayaan setempat.KMN harus menyesuaikan diri dengan nilai- nilai budaya stempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.
6.      Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”
      Setiap perusahaan multinasional harus membayar pajak menurut tarif yang telah ditentukan dalam suatu negara. KMN akan mendukung dibuatnya dan dilaksanakannnya peraturan internasional untuk menentukan pembayaran pajak oleh perusahaan- perusahaan internasional.
7.      Koorporsi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkn dan menegakkan “backgroud institutions” yang tepat
Yang dimaksud “background institutions” adalah lembaga- lembaga yang mengatur serta memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara.
8.      Negara yang memiliki mayoritas sham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
      Norma ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus dipikul oleh pemilik mayoritas saham.

9.      Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
Yang membangun pabrik- pabrik berisiko tinggi harus juga merundingka prosedur- prosedur keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut. KMN bertanggung jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih serta membina secara sebaik mungkin mereka yang akan mengoperasikan pabrik itu.
10.  Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara yang belum berpengalaman.
Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau mungkin, teknologi harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi stempat, sehingga terjamin keamanan optimal.
Sepuluh norma tersebut bisa bermanfaat untuk menciptakan suatu kerangka moral bagi kegiatan- kegiatan KMN

2.6.  Masalah Korupsi dalam Taraf Internasional
Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional.
1.      Skandal Suap Leockheed
Lockheed adalah produsen pesawat terbang Amerika Serikat yang melakukan suap ke berbagai Negara dengan tujuan agar produknya dapat di pasarkan, lalu terbukalah kasus ini dan dimuat diberbagai media massa yang menimbulkan reaksi cukub hebat. Lockheed merasa keberatan dengan Undang-undang anti suap di Amerika. Terdapat dua keberatan yang sering ditemukan yaitu :

a.        Undang-undang ini mempraktekkan semacam imprealisme etis.
b.      Undang-undang ini merugikan bisnis Amerika, karena melemahkan daya saingnya.

2.      Mengapa pemakaian uang suap bertentangan dengan etika?
Ada beberapa alasan mengapa mengetahui pemakaian uang suap bertentangn dengan etika.
a.       Bahwa praktek suap itu melanggar etika pasar. Dengan adanya praktek suap, daya pasar dilumpuhkan dan para pesaing yang sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan.
b.      Bahwa orang yang tidak berhak, mendapat imbalan.
c.       Banyak kasus lain di mana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan. Pembagian barang langka dengan menempuh praktek suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh orang yng tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak tidak kebagian.
d.      Bahwa praktek suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa membukukkan uang suap itu seperti mestinya.

Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional.
Dan contoh kasus suap yang terjadi di Indonesia adalah kasus penyuapan Bupati Buol, Sulawesi Tengah, Amran Abdullah Batalipu sebanyak Rp3 miliar agar mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) oleh PT. Hardaya Inti Plantation. Siti Hartati Murdaya selaku Direktur PT Hardaya Inti Plantation dan PT Citra Cakra Murdya baik secara sendiri dan bersama-sama, dengan Gondo Sudjono selaku Direktur Operasional PT HIP dan Yani Ansori selaku General Manager Supporting PT HIP serta Arim selaku Financial Controller dan Totok Lestiyo sebagai Direktur PT HIP melakukan perbuatan memberi Rp1 miliar dan Rp2 miliar kepada penyelenggara negara yaitu Amran Abdullah Batalipu, agar Amran membuat surat untuk Gubernur Sulawesi Tenggara dan kepala Badan Pertanahan Nasional.
Atas perbuatan tersebut, jaksa menuntut Hartati dengan dakwaan pertama dari pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 44 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal Rp250 juta. Jaksa juga menuntut Hartati dengan dakwaan kedua dari pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 44 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda maksimal Rp150 juta.